Tulisan Arab Melayu: Warisan yang Kian Dilupakan di Negeri Sendiri
Oleh _ Adhe Bakong
– Di tanah yang kaya dengan sejarah dan budaya ini, tulisan Arab Melayu yang merupakan bagian tak terpisahkan dari jati diri Melayu, kini menghadapi nasib yang memprihatinkan. Dulu, di setiap sudut sekolah, aksara Arab Melayu menjadi pelajaran utama. Namun, kini, di banyak sekolah di Kabupaten Lingga, tulisan yang dulu menjadi saksi peradaban ini perlahan kehilangan tempatnya. Aksara yang melambangkan kebesaran budaya dan intelektual Melayu kini seakan terabaikan, bahkan terlupakan.
Sejak abad ke-18, tulisan Arab Melayu telah menjadi alat untuk menyampaikan ajaran agama, sejarah, serta sastra yang mengandung hikmah luhur. Di Kesultanan Lingga yang gemilang, tulisan ini digunakan oleh para ulama dan sastrawan untuk menulis kitab dan syair, menyebarkan pengetahuan, dan menyampaikan kearifan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di sekolah-sekolah, anak-anak Melayu diajarkan untuk membaca dan menulis dalam aksara ini, yang tidak hanya menyangkut keahlian berbahasa, tetapi juga ikatan dengan identitas dan budaya mereka.
Namun, sejak pertengahan abad ke-20, perubahan besar dalam dunia pendidikan mulai mengikis keberadaan tulisan Arab Melayu. Penggunaan huruf Latin semakin mendominasi, dan kurikulum pendidikan pun berubah. Tanpa disadari, tulisan Arab Melayu yang dulunya menjadi simbol kejayaan itu perlahan terpinggirkan, tak lagi dipelajari, bahkan oleh generasi muda di tanah yang dulunya menjadi saksi peradaban Melayu ini.
Kini, di banyak sekolah di Lingga, tulisan Arab Melayu hampir tidak lagi ditemukan dalam ruang kelas. Pelajaran yang mengajarkan aksara ini semakin jarang dijumpai. Guru-guru yang dapat mengajarkan tulisan ini pun semakin sedikit, dan banyak sekolah yang tidak lagi menganggapnya penting dalam kurikulum pendidikan mereka. Akibatnya, generasi muda yang lahir di tanah ini kini banyak yang tak mengenal atau bahkan tidak tahu cara membaca dan menulis dalam aksara Jawi.
Ironisnya, di tengah maraknya teknologi dan kemudahan informasi, yang seharusnya mempermudah pelestarian budaya, tulisan Arab Melayu justru semakin terpinggirkan. Buku-buku yang berisi syair Melayu, hikayat, dan karya sastra yang ditulis dengan aksara ini kini hanya bisa dibaca oleh segelintir orang yang masih mewarisi keterampilan tersebut. Sebagian besar generasi muda di Lingga tidak bisa mengakses warisan budaya yang telah lama ada, karena keterbatasan kemampuan membaca tulisan Arab Melayu.
Kehilangan tulisan ini bukan hanya sekadar hilangnya kemampuan menulis. Ia lebih dari itu. Tulisan Arab Melayu adalah jalan untuk menghubungkan generasi kini dengan sejarah panjang yang telah tertulis rapi dalam aksara itu. Tanpa tulisan ini, kita kehilangan sebagian besar dari apa yang membentuk kita sebagai bangsa. Tak hanya hilang dari sisi akademik, namun hilangnya hubungan dengan akar budaya yang menjadi dasar hidup.
Tulisan Arab Melayu bukan hanya sekadar aksara. Ia adalah bagian dari identitas yang membedakan Melayu dari bangsa lainnya. Sebuah warisan yang mengikat erat masyarakat Melayu dengan tanah dan sejarah mereka. Kehilangan aksara ini sama dengan kehilangan bagian dari diri, kehilangan akar yang selama ini memberikan mereka identitas yang kuat.
Lingga, tanah yang pernah menjadi pusat kejayaan Kesultanan Melayu, kini tengah berhadapan dengan sebuah pilihan berat: akankah warisan ini tetap hidup, ataukah ia akan dilupakan begitu saja? Tulisan Arab Melayu adalah bagian dari sejarah, budaya, dan jati diri yang harus dijaga. Upaya pelestarian harus terus dilakukan agar generasi mendatang dapat mengenal dan menghargai warisan ini. Sebab, seperti tanah yang subur, budaya dan identitas bangsa membutuhkan perhatian dan pemeliharaan agar tetap lestari.
Jika generasi kini tidak menghidupkan kembali tulisan Arab Melayu, maka siapa lagi yang akan menjaga warisan berharga ini? Dalam setiap goresan tulisan itu terletak sejarah yang harus kita hargai dan teruskan. Sebuah budaya yang harus hidup dalam setiap langkah kita, agar bangsa Melayu tetap berdiri tegak dengan jati dirinya yang luhur.