banner 728x250

Diplomasi Warung Kopi: Hikmah di Ujung Cangkir

banner 120x600
banner 468x60

Diplomasi Warung Kopi: Hikmah di Ujung Cangkir

Oleh: Adhe Bakong

Di antara dengung angin laut dan desah langkah kaki di pasar pagi, warung kopi berdiri sederhana di sudut-sudut kampung. Di sinilah, segala kisah ditumpahkan, segala keluh dituturkan, dan tak jarang, benih-benih damai disemai. Di meja kayu berlapuk dan cangkir yang mengepul pelan, berlangsunglah satu bentuk musyawarah yang tak berprotokol: diplomasi warung kopi.

Warung kopi bukan sekadar tempat mengusir kantuk atau bersila menunggu waktu. Ia adalah balai kecil tanpa nama, tempat para lelaki tua menyusun hikmah, para pemuda mencurahkan keresahan, dan para pemangku kepentingan melepas gengsi demi mufakat.

Mengeteh Kata, Menyeduh Damai

Masyarakat Melayu, sejak zaman buhun, mengenal adat sebagai tiang bicara dan muafakat sebagai mahkota dalam menyelesaikan silang pendapat. Maka, bukan hal aneh bila segala urusan yang kusut—baik urusan kampung, perselisihan antar jiran, bahkan perkara politik lokal lebih dulu dibawa ke warung kopi sebelum dijemput meja resmi.

Dengan bahasa yang lunak namun tegas, dengan senda gurau yang menyelipkan pesan, mereka berbicara dari hati ke hati. Di warung kopi, suara tidak ditakar dari pangkat, melainkan dari niat baik. Yang tua dihormati, yang muda didengarkan, yang keras dilembutkan, yang retak dicantumkan.

Di Antara Asap Kopi dan Asap Emosi

Betapa banyak perkara besar yang tak dapat diselesaikan dalam ruang sidang, tapi dapat diluruhkan dalam kepulan asap kopi. Di sinilah diplomasi warung kopi menunjukkan khasiatnya: ia meredakan sebelum meledak, menghangatkan sebelum membakar.

Di meja kecil yang kadang goyah itu, ego diletakkan di sisi piring kecil, gengsi dilipat rapi di saku baju, lalu yang tersisa hanyalah dua insan yang ingin mengerti dan dimengerti.

Baca juga :   Jejak Literasi Baru di Lingga: Investasi untuk Masa Depan Anak Negeri

Perkataan yang keluar pun tidak disusun dalam bahasa tinggi. Ia mengalir apa adanya—penuh hikmah, namun tetap bersahaja. Sebab dalam budaya kita, kebenaran tak selalu datang dari suara yang paling nyaring, tetapi dari suara yang paling jujur.

Meski tak berlampu terang atau berjendela kaca, warung kopi adalah tempat di mana nalar dan rasa duduk semeja. Di sana, kita belajar bahwa membangun kampung bukan sekadar soal anggaran dan program, tapi soal menautkan hati dan menyambung silaturahmi.

Maka warung kopi menjadi ruang diplomasi yang khas—tak tertulis dalam undang-undang, tapi hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat. Di sana, kita temui bukan hanya secangkir kopi, tapi juga semangat kekeluargaan yang tak bisa dibeli oleh kuasa atau uang.

Cangkir sebagai Penengah, Kata sebagai Jembatan

Di zaman yang kian riuh oleh suara-suara keras, diplomasi warung kopi hadir seperti angin teduh di tengah terik. Ia mengingatkan kita bahwa menyelesaikan perkara tak harus dengan bentakan atau aturan yang kaku, tapi cukup dengan keikhlasan hati dan kemauan untuk duduk bersama.

Cukup dua kursi plastik, sepotong roti kampung, dan segelas kopi hitam. Maka terciptalah satu ruang kecil yang lebih damai dari ruang rapat manapun—ruang yang mewarisi jiwa Melayu: penuh adab, berakar pada mufakat, dan berjiwa tenggang rasa.

Selagi masih ada kopi yang diseduh dengan niat baik, dan hati yang terbuka untuk mendengar, diplomasi warung kopi akan terus hidup—tak sekadar sebagai cara, tapi sebagai warisan jiwa bangsa.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *