Oleh: Adhe Bakong
Hari itu, langit Lingga memayungi sebuah awal. Di atas podium yang bersahaja, sosok-sosok terpilih berdiri tegak—mengenakan jas, mengangkat tangan, dan mengucap sumpah. Kata-kata yang meluncur dari bibir mereka bukan sekadar formalitas, melainkan janji yang menari-nari di telinga rakyat, menjelma asa yang disematkan dalam diam.
Dari tanah berdebu dan kampung-kampung yang terdesak waktu, rakyat menatap. Harapan terbit dari mata mereka yang letih—harapan bahwa kini, akan ada yang bersuara untuk mereka. Bahwa akan ada satu kursi di ruang kebijakan yang berpihak pada yang kecil, yang nyaris tak terdengar.
Dan waktu pun berjalan. 225 hari, terhitung sejak sumpah itu dilantunkan.
Di balik angka yang sederhana itu, tersimpan ratusan fajar dan senja yang terlewati dengan sabar. Rakyat yang pernah percaya, kini mulai diam. Bukan karena lupa, melainkan karena masih menunggu. Menunggu janji yang dulu diucap setinggi langit, agar perlahan turun menyentuh bumi.
Wakil rakyat, sosok yang dahulu dielu-elukan sebagai jembatan perubahan, perlahan menjauh dari citra yang pernah dijanjikan. Ia ada, namun seolah tak hadir. Ia terdengar, namun tak menyapa. Jejak langkahnya tak lagi terasa di jalan tanah yang becek, di sekolah yang gentingnya miring, di puskesmas yang sunyi obat.
Dulu, saat suara masih diperebutkan, janji mengalir seperti sungai: pendidikan layak, kesehatan terjangkau, akses yang merata, pembangunan yang tak tebang pilih. Tapi kini, janji itu seperti kabut: membungkus pagi, namun menghilang sebelum siang.
Rakyat, seperti biasa, tidak menuntut lebih. Mereka tidak mengharap pesta pembangunan. Mereka hanya ingin tanda-tanda kecil bahwa janji itu masih hidup. Sebuah dinding sekolah yang diperbaiki. Sebuah jembatan kecil yang tak lagi reyot. Sebuah kehadiran yang terasa, meski tak perlu diumumkan dengan kamera.
Karena di mata rakyat, kerja yang nyata tak butuh sorotan. Ia cukup hadir, cukup menyentuh, cukup membuat mereka merasa tak sendiri. Bahwa ketika mereka mengadu, ada telinga yang mendengar. Bahwa ketika mereka mengeluh, ada tangan yang bekerja.
Tapi 225 hari telah berlalu. Dan banyak dari mereka masih berdiri di tempat yang sama, dengan persoalan yang belum berubah. Satu demi satu, mereka mulai menyimpan tanya dalam diam: “Masihkah kami dihitung?”
“Ataukah suara kami hanya dibutuhkan di awal, lalu dilupakan di sisa perjalanan?”
Meski begitu, harapan belum mati. Rakyat tak mudah menyerah. Mereka terus menyalakan api kecil di dada, menjaga nyala yang tersisa. Karena mereka percaya, di balik setiap kursi yang diduduki oleh wakil rakyat, ada tanggung jawab yang lebih berat dari sekadar kehadiran di ruang rapat.
Dan jika benar wakil itu masih mengingat dari mana ia datang, masih ingat siapa yang mengantarnya sampai ke ruang kekuasaan, maka waktunya belum terlambat. Masih ada hari ke-226. Masih ada ruang untuk menebus janji, untuk kembali pada suara-suara kecil yang dulu menjadi tangga kemenangan.
Karena bagi rakyat, janji bukan dilihat dari seberapa manis ia terucap, tapi seberapa tulus ia ditepati. Janji bukan dinilai dari tinggi kata-katanya, tapi dari jejak kebaikan yang ditinggalkannya.
Dan selama api itu belum padam, selama harapan itu masih menyala meski redup rakyat akan terus menunggu. Dengan sabar yang nyaris suci, mereka berdiri. Tak menuntut lebih, hanya meminta yang semestinya.
“Segenggam bukti dari secupak janji.”