Oleh : Zulyadin
PASANGAN calon tunggal pilkada menjadi sebuah fenomena yang acapkali mencuat disaat pemilihan kepala daerah. Ada sebagian beranggapan jika hanya ada satu paslon, maka paslon tersebut otomatis akan menang. Hal ini tidak lah demikian karena ada aturan yang mengharuskan paslon tersebut menghadapi kotak kosong.
lstilah kotak kosong adalah untuk menyebut munculnya calon tunggal yang tidak memiliki lawan dalam perhelatan pilkada. Sehingga, dalam surat suara posisi lawan berbentuk kotak kosong.
KPU sendiri telah memiliki regulasi yang mengatur soal mekanisme pilkada dengan pasangan calon tunggal atau kotak kosong.
Terakhir adalah Peraturan KPU RI Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon.
Walaupun dari segi regulasi paslon tunggal melawan kotak kosong dibenarkan, namun dari sisi perkembangan demokrasi mengalami kemunduran. Bahkan tanpa disadari telah menodai makna demokrasi itu sendiri.
Anehnya lagi biasanya paslon tunggal melawan kotak kosong terjadi pada daerah/negara yang berpenduduk sedikit. Di Indonesia rata-rata penduduknya cukup banyak, seharusnya kotak kosong tidak pernah terjadi.
Menelisik pendapat Dr. Drs. I Nyoman Subanda, M.Si, bahwa ada tiga perspektif menelaah fenomena Paslon melawan kotak kosong.
Yang pertama dari perspektif partai politik, bahwa partai politik memiliki fungsi dasar seperti memilih calon pemimpin politik dan kaderisasi. Munculnya kotak kosong menunjukkan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi ini.
Yang kedua dari perspektif kekuasaan, kotak kosong mencerminkan kegagalan partai politik dalam membangun kepercayaan dan elektabilitas di mata masyarakat.
Yang ketiga adalah dari perspektif masyarakat, kotak kosong berarti hilangnya alternatif pilihan. Pilkada seharusnya memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon pejabat publik terbaik.
Partai politik seharusnya selalu siap dengan calon yang akan diusung, namun kenyataannya, banyak partai tidak siap karena tidak mampu melakukan seleksi dan kaderisasi yang efektif.
Kekuasaan bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi tentang kemampuan membangun kepercayaan dan simpati masyarakat.
Masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih berdasarkan penilaian yang adil dan berdasarkan hati nurani. Demokrasi yang sehat melibatkan masyarakat dalam semua tahap proses Pilkada, dari seleksi hingga pemilihan.
Pilkada 2024 sudah didepan mata, rasanya perlu kita belajar dari masa lalu untuk memperkuat pemahaman tentang demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang tumbuh sehat, membutuhkan peran partai politik yang bertanggung jawab, keterlibatan masyarakat dan proses yang transparan
Ada beberapa daerah provinsi Kepri berpotensi akan terjadi paslon tunggal melawan kotak kosong, seperti Batam dan Lingga. Hal ini dapat dilihat begitu mendominasinya dukungan partai politik yang berbentuk rekomendasi kepada paslon tertentu, sehingga menutup kesempatan paslon lain untuk mendapatkan dukungan.
Semoga dan semoga Pilkada 2024 yang sebentar lagi dihelat tidak menghadirkan pemimpin yang lahir dari rahim kotak kosong.(Zulyadin)
Penulis adalah mantan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lingga.
Editor : Adhe Bakong