LINGGA, JEBAT.ID – Pada pagi yang basah oleh embun, di tengah riuh rendah langkah awal tahun ajaran baru, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau Kabupaten Lingga menapakkan jejak budaya ke pelataran sekolah-sekolah menengah. Dari Lingga ke Singkep, dari ruang kelas ke ruang jiwa, LAM datang bukan sekadar memberi materi – tapi menyemai makna, menyiram akar budaya bangsa.
Dalam bingkai Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), LAM Lingga hadir bukan hanya sebagai tamu, melainkan sebagai waris tua yang mengangkat kembali nilai-nilai luhur bangsa Melayu. Program ini bukan sembarang kegiatan; ia adalah wasiat yang dijalinkan dalam tiga helaian utama:
Adab, Etika, dan Tunjuk Ajar Budaya Melayu,
Berpakaian Patut Menurut Ragam Melayu,
Adabu L-Fata: Hikmah dalam Kitab Anak Jati Melayu.
Disampaikan dalam bahasa yang beradab, dalam tutur yang bertuah, materi-materi ini ibarat embun di pucuk ilalang – menyejukkan dan menyadarkan. Di balik setiap penyampaian, tersembunyi maksud yang dalam: memberi pemahaman kepada generasi muda, khususnya generasi Z, bahwa budaya Melayu adalah kekuatan karakter yang tak lekang oleh zaman. Dalam derasnya arus kemajuan dan kecanggihan teknologi, budaya bukanlah beban masa lalu, tetapi kompas untuk menuntun langkah ke masa depan.
“Budaya Melayu bukan hiasan pentas, tapi pedoman hidup. Ia bukan semata kain songket dan tanjak yang megah, tapi ilmu yang menjadikan kita manusia yang tahu duduk, tahu berdiri, tahu adat, tahu diri,” ujar Datok Azmi, Ketua LAM Kabupaten Lingga, dengan suara yang tenang namun dalam, saat membuka sesi tunjuk ajar di salah satu sekolah di Dabo Singkep.
”Kita tidak hendak menjadikan budaya Melayu ini sebagai barang tontonan semata. Kita mahu dia hidup, diamalkan, menjadi panduan harian anak-anak kita. Kerana kalau bukan kita yang menyampaikan, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, bila lagi?” tambah beliau dengan tegas namun lembut.
Program ini bukan baru pertama kali hadir. Telah berlangsung secara konsisten selama tiga hingga empat tahun terakhir, kegiatan ini menjadi agenda tahunan yang ditunggu banyak sekolah. Tak hanya Ketua LAM, para pemateri juga berasal dari pengurus LAM Lingga yang membidangi langsung tajuk-tajuk yang disampaikan, mulai dari bidang adat, pakaian, hingga sastera budaya. Dengan keahlian masing-masing, mereka hadir bukan hanya membawa ilmu, tapi juga semangat dan penghayatan yang mendalam.
Para siswa, yang sebelumnya mungkin hanya mengenal Melayu dari lagu dan perayaan hari besar, kini dikenalkan pada akar dan batangnya – pada nilai dan susila yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka belajar cara bersalam yang santun, mengenakan busana dengan patut, dan membaca kembali Adabu L-Fata, buku kecil yang besar maknanya, yang berisi mutiara nilai bangsa Melayu.
Setiap sekolah yang disapa LAM tak ubahnya lading yang digemburkan – tempat benih budi ditaburkan. Dalam suasana penuh hormat, para tokoh adat hadir bukan untuk menggurui, tetapi untuk membimbing. Anak-anak pun menyambut bukan dengan sekadar dengar, tetapi dengan hati yang terbuka.
Program ini bukan hanya bagian dari MPLS, tapi bagian dari misi peradaban: mengangkat kembali marwah budaya dalam dunia yang makin tergesa dan kehilangan arah. LAM Lingga, lewat program ini, mengingatkan bahwa di tengah zaman yang berlari, kita tetap perlu berpijak – dan pijakan itu adalah budaya sendiri.
Karena Melayu bukan hanya soal yang dahulu, tapi juga tentang yang akan datang.
(Adhe Bakong)