banner 728x250

Hulu Riau: Jejak Riuh Peradaban di Ujung Sungai Carang

banner 120x600
banner 468x60

Hulu Riau: Jejak Riuh Peradaban di Ujung Sungai Carang

Oleh: Adhe Bakong | JEBAT.ID

Di sudut tenang Tanjungpinang, tepatnya di Kelurahan Kampung Bugis, terdapat kawasan yang menyimpan bisikan masa silam. Hulu Riau—begitulah ia dikenal—bukan sekadar nama dalam peta. Ia adalah halaman pertama dari kitab panjang sejarah Kerajaan Melayu yang membentang hingga ke Johor, Lingga, dan Pahang.

Langkah-langkah kecil di tanah berlumpur Sungai Carang pernah menjadi saksi sibuknya aktivitas dagang di abad ke-17. Pada tahun 1673, Sultan Ibrahim Syah dari Johor mengutus Laksamana Tun Abdul Jamil membangun bandar dagang di tepi sungai ini. Pelabuhan pun didirikan. Perahu-perahu dagang dari segala penjuru mulai datang dan pergi. Suara riuh para pedagang memenuhi udara. Dari sinilah, konon, kata “Riau” berasal—dari kata “riuh” yang lambat laun berubah lidah menjadi “Riau”.

Riwayat ini tak sekadar legenda lisan. Ia tercatat dalam naskah klasik Tuhfat al-Nafis, karya Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, dua pujangga besar yang juga saksi zamannya.

“…di muara sungai itu mereka kehilangan arah… saat ditanya, mereka menjawab: ‘ke tempat yang rioh’…”

Ketika pusat kerajaan dipindahkan dari Johor ke Hulu Riau oleh Sultan Ibrahim, kawasan ini tidak lagi hanya pelabuhan—ia berubah menjadi jantung pemerintahan, menjadi awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Riau–Johor.

Namun kisah Hulu Riau tak berhenti di situ. Ia menjadi panggung bagi babak baru sejarah Melayu-Bugis. Ketika konflik saudara pecah antara Raja Kecil dari Siak dan Sultan Sulaiman, datanglah para bangsawan Bugis dari tanah Luwuk, Sulawesi. Mereka datang bukan hanya dengan pedang, tapi juga dengan kesetiaan. Sebagai balasan atas bantuannya, mereka diberi kedudukan tinggi—gelar Yang Dipertuan Muda, sejajar dengan wakil Sultan.

Baca juga :   Mengenalkan Helm dan Zebra Cross Sejak Dini: Cara Unik Satlantas Polres Lingga Edukasi Anak TK

Dari sinilah lahir simbiosis antara dua suku besar: Melayu dan Bugis, dipatri oleh perjanjian dan pernikahan bangsawan. Hulu Riau menjadi saksi bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh perang, tapi juga oleh persaudaraan.

Kini, di tengah hiruk-pikuk zaman yang terus bergerak, Hulu Riau masih menyimpan sisa-sisa kejayaan itu. Bangunan tua, makam para bangsawan, dan sisa-sisa benteng menjadi pengingat akan satu masa ketika Riau adalah pusat peradaban.

Melangkah di Hulu Riau adalah seperti menapaki lorong waktu. Di balik riuhnya masa lalu, kawasan ini menyimpan sunyi yang mengajarkan: bahwa sejarah bukan untuk dilupakan, melainkan untuk dihidupkan kembali.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *