LINGGA, JEBAT.ID – Di tengah tanah yang menyimpan kekayaan timah, masyarakat Lingga justru hidup dalam kesulitan. Terutama di wilayah Pulau Singkep, lapangan kerja semakin menyempit, sementara alternatif penghidupan nyaris tidak tersedia. Tambang timah yang dahulu menjadi nadi ekonomi warga kini seperti tak berguna—terkunci oleh ketidakjelasan legalitas.
“Timah itu masih banyak, tapi sekarang seperti hantu—ada, tapi tak bisa disentuh. Mau nambang takut dikejar, mau jual tak ada yang berani beli,” ujar seorang warga Dabo Singkep yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Menurut sumber anonim lain yang pernah terlibat dalam aktivitas tambang skala kecil, banyak warga hanya ingin mencari nafkah, bukan melanggar hukum. Namun keterbatasan ruang gerak membuat mereka terjepit dalam dilema antara bertahan hidup atau menghadapi risiko hukum.
“Kami ini bukan penjahat. Cuma orang-orang yang ingin makan, nyekolahin anak, nyambung hidup. Tapi sekarang semua serba salah,” tutur narasumber anonim tersebut dengan nada lelah.
Kekhawatiran lain yang mencuat dari masyarakat adalah meningkatnya potensi tindak kriminal. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi dan pekerjaan tak tersedia, tekanan sosial bisa berubah menjadi ledakan masalah yang lebih besar.
“Beberapa orang sudah mulai gelap mata. Ada yang mencuri, ada yang mulai terlibat hal-hal yang melanggar hukum. Bukan karena mereka jahat, tapi karena lapar,” ujar sumber lain, seorang tokoh masyarakat setempat, yang juga meminta agar namanya tidak dipublikasikan.
Banyak warga merasa bahwa mereka hidup di atas tanah yang kaya, tetapi tak diberi akses untuk mengolahnya secara sah. Potensi timah yang tersisa seakan hanya menjadi cerita, bukan solusi.
“Rasanya aneh. Dulu dari timah kami bisa hidup, sekarang malah harus pura-pura tidak tahu tanah ini masih menyimpan emas abu-abu itu,” kata salah satu mantan buruh tambang.
Warga pun berharap ada kejelasan status tambang rakyat. Mereka tidak meminta izin besar atau alat berat, hanya kesempatan untuk bisa menggali secara legal, aman, dan bertanggung jawab.
Dibalik tumpukan bijih timah yang belum tergarap, tersimpan pula ribuan harapan yang belum terjawab. Masyarakat Lingga bukan sekadar menunggu bantuan—mereka menunggu kejelasan, ruang hidup, dan peluang untuk bertahan secara bermartabat. Bila suara mereka terus diabaikan, jangan salahkan jika kelaparan perlahan berubah menjadi kemarahan. (**)