Sepucuk Surat Dari Tanah Yang Terlupa
Oleh_Adhe Bakong
Yang Mulia Para Pemimpin,
Izinkan hamba menulis sepucuk surat dari kaki langit,
dari kampung yang jarang singgah di peta,
tempat jalan becek lebih sering dipijak
daripada janji-janji yang tak pernah sampai.
Hamba ini bukan siapa-siapa.
Bukan penyusun undang-undang,
bukan pula pengibar bendera di istana.
Hamba hanya seorang fakir ilmu,
yang tak tahu apa arti inflasi,
tapi tahu betul rasanya lapar.
Dulu kami mengira: merdeka itu berarti adil.
Tapi rupanya adil hanya jadi kata dalam pidato.
Kami disuruh bangga jadi warga bangsa,
tapi tak punya tanah tempat rebah,
dan tak tahu siapa yang dulu mencabutnya.
Anak-anak kami diminta mencintai tanah air,
padahal sekolah mereka hanyalah ruang reyot
dengan papan tulis setipis sabar ibu guru.
Setiap tahun kami dengar kata “merdeka”,
tapi apakah merdeka itu berarti bebas bekerja tanpa jaminan?
Bebas sakit tanpa dokter?
Bebas bicara, asal jangan terlalu keras?
Yang Mulia,
hamba tak menulis untuk mencela.
Hamba hanya ingin menyampaikan yang tak pernah didengar.
Sebab suara kami terlalu pelan
untuk masuk ke ruang ber-AC dan meja kaca.
Tapi ketahuilah ,
di balik sunyi ini,
masih ada yang percaya:
bahwa negeri ini belum mati rasa.
Bahwa harapan masih hidup
meski harus tumbuh dari reruntuhan janji.
Kami tak minta banyak.
Bukan emas, bukan istana.
Cukup sedikit keadilan,
dan secangkir kejujuran dari para penguasa.
Jika itu pun sulit,
biarlah kami tetap berdoa
agar satu hari nanti,
kemerdekaan benar-benar singgah —
bukan hanya di ibu kota,
tapi juga di dada kami yang lama menanti.
“Tuan yang duduk di singgasana — pernahkah Tuan berjalan tanpa alas kaki, di tanah yang katanya milik sendiri? Pernahkah Tuan lapar dalam negeri yang katanya kaya raya?”
Hormat kami,
seorang rakyat kecil,
yang masih percaya pada negeri ini.