Di Antara Pena dan Prasangka: Kasus Yan Fitri dan Luka yang Menganga
Oleh: Adhe Bakong
Nama Irjen Pol (Purn) Yan Fitri Halimansyah tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Bukan karena prestasi atau gagasan, tetapi oleh satu berita di sebuah media lokal daring yang menempatkannya dalam pusaran dugaan tambang ilegal di Lingga. Bagaikan badai yang datang tanpa awan mendung, kabar itu mengguncang, tidak hanya karier, tapi juga kehormatan.
Bagi sebagian orang, nama Yan Fitri mungkin sebatas figur publik. Namun bagi masyarakat Melayu, khususnya di Kepulauan Riau, ia adalah tokoh adat, seorang Dato’, simbol ketenangan dan kepemimpinan. Maka ketika tuduhan itu beredar tanpa konfirmasi resmi, luka yang tercipta pun tidak lagi bersifat personal—ia menjadi milik kolektif.
Berita yang dimuat pada 14 Mei itu dibalut semangat kontrol sosial. Isu tambang ilegal memang penting, terlebih jika menyangkut kerusakan lingkungan dan potensi pelanggaran hukum. Namun publik pun berhak bertanya: apakah pemberitaan itu telah berjalan sesuai rambu etik?
Dalam laporan tersebut, nama Yan Fitri disebut terang-terangan, lengkap dengan insinuasi yang menempatkannya seolah telah terbukti bersalah. Konfirmasi? Tidak ada. Dalihnya: sulit dihubungi.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah jelas mengatur asas praduga tak bersalah. Bahkan Kode Etik Jurnalistik menegaskan perlunya uji informasi, verifikasi, serta kewajiban memberi ruang hak jawab. Jika semua itu dilompati, maka yang tersisa bukan jurnalisme, tapi potensi pembunuhan karakter.
Menyadari dirinya dirugikan, Yan Fitri menempuh jalur hukum. Laporan dilayangkan ke Polresta Barelang. Aparat mulai bekerja. Saksi-saksi dipanggil. Semua berjalan sesuai koridor hukum, tanpa panggung emosi.
Namun langkah ini menimbulkan pertanyaan: di mana batas antara kritik yang sah dan pencemaran nama baik? Bila sebuah berita lahir dari proses jurnalistik yang utuh, maka seharusnya sengketa diselesaikan melalui Dewan Pers. Bukan lewat proses pidana.
Di sinilah dilema itu muncul. Jika media tidak berhati-hati, maka kebebasan pers bisa berubah menjadi senjata yang melukai. Sebaliknya, jika hukum ditegakkan tanpa pandang proses jurnalistik, maka kebebasan berekspresi bisa mati perlahan.
Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau pun angkat suara. Dalam pandangan mereka, pemberitaan tersebut bukan sekadar menyudutkan Yan Fitri sebagai individu, tapi melukai nilai budaya yang dijunjung tinggi.
“Jika sesat di ujung, kembalilah ke pangkal,” ujar Ketua Harian LAM Riau, Muhammad Amin. Ungkapan ini bukan sekadar petuah lama, tapi panggilan untuk media agar kembali pada prinsip: akurasi, keseimbangan, dan tanggung jawab.
LAM melihat tuduhan yang tidak berdasar sebagai bentuk fitnah yang menodai kehormatan, bukan hanya terhadap seorang Dato’, tapi terhadap marwah adat dan nilai-nilai kebersamaan.
Pers memang memikul beban besar: menjadi pengawas kekuasaan, menyuarakan kebenaran, sekaligus menjunjung keadilan. Tapi tugas mulia itu tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang mengabaikan prinsip jurnalistik.
Framing yang keliru, konfirmasi yang terabaikan, serta narasi yang menggiring opini publik, hanya akan mengikis kepercayaan terhadap media itu sendiri. Dan sekali kepercayaan itu hilang, akan sulit dikembalikan.
Maka yang dibutuhkan bukan hanya keberanian menyuarakan, tapi kebijaksanaan menyampaikan. Karena dalam dunia informasi yang semakin riuh, yang dibutuhkan bukan sekadar berita—tapi berita yang bertanggung jawab.
Kasus Yan Fitri bukan sekadar sengketa antara media dan individu. Ini adalah cermin yang memantulkan wajah pers kita hari ini—apakah masih berdiri tegak di atas prinsip, atau mulai tergelincir dalam bayang-bayang sensasi.
Mari biarkan hukum berjalan, dan biarkan pers kembali pada esensinya: menyuarakan nurani, bukan menabur luka.