banner 728x250

Melayu Bukan Alat, Ia Marwah

banner 120x600
banner 468x60

Melayu Bukan Alat, Ia Marwah

Oleh_Adhe Bakong

Di setiap simpang jalan, nama Melayu kerap diseret ke tengah pusaran, dijadikan panji oleh mereka yang sejatinya tak memahami makna di balik aksara itu. Mereka bicara atas nama Melayu, berkoar seolah membawa warisan, padahal yang digenggam hanyalah ambisi dan keuntungan sesaat.

Aku, sebagai anak dari rahim budaya ini, merasa risau. Nama Melayu bukan sekadar sebutan—ia adalah marwah, ia adalah darah yang mengalir bersama sejarah panjang peradaban, kesantunan, dan harga diri. Namun kini, terlalu sering ia dijadikan tunggangan politik, perisai komersial, bahkan alat untuk memecah dan menebar syak wasangka.

Melayu itu bukan sekadar kulit yang sawo matang, bukan semata lidah yang petah berpantun. Ia bukan hanya tanjak di kepala atau kain songket di bahu. Melayu adalah budi yang dijunjung, adat yang ditinggikan, dan malu yang dijaga. Ia adalah bangsa yang berpantang menyakiti, yang menunduk tidak hina, yang mendaki tidak takbur.

Namun lihatlah kini, betapa nama Melayu kerap dicatut, dijajakan di pasar janji, diperdagangkan dalam rapat-rapat yang mengatasnamakan perjuangan, tapi hakikatnya hanyalah urusan kantong dan kursi.

Lalu siapakah yang mewakili Melayu? Siapakah yang diberi mandat oleh ruh nenek moyang untuk berkata, “akulah juru bicara”?

Apakah lantang suara bisa menggantikan adab? Apakah pakaian kebesaran bisa menutup aib ketulusan? Tidak. Sebab Melayu bukan apa yang kau pakai, tapi bagaimana kau bersikap.

Banyak yang memakai nama Melayu, tapi jarang yang mengemban amanahnya. Mereka menjadikan identitas ini sebagai perisai dari kritik, sebagai alat untuk membungkam, sebagai alasan untuk mendominasi. Padahal, Melayu tidak diajarkan untuk menindas. Melayu diajarkan untuk merangkul, menyantuni, menyusun kata seperti menyusun bunga dalam jambangan—harum, lembut, tapi tegas maknanya.

Baca juga :   Bawaslu Lingga Apresiasi Lanal Dabo Singkep dalam Proses Pendistribusian Logistik ke Pekajang

Melayu itu berbicara dengan hati. Ia tidak menghujat, tapi menasihati. Ia tidak memaki, tapi menegur dengan bijak. Bila berbicara, Melayu mengukur kata dengan timbang rasa, menyulam makna dengan benang kearifan. Maka, bagaimana mungkin kita biarkan nama seagung ini dijadikan alat perebutan kuasa?

Di zaman ini, saat layar lebih dipercaya daripada laku, dan suara yang tinggi lebih dianggap bijak daripada isi yang jernih, kita makin kehilangan jati diri. Padahal Melayu hidup dalam diam yang dalam, dalam senyum yang bersahaja, dalam doa yang tidak dipamerkan. Dan sungguh, tak semua yang bersuara adalah yang benar-benar mengerti.

Wahai yang gemar mengusung nama Melayu dalam pidato dan iklan politik, renungkanlah: adakah kau benar membawa marwah itu, atau sekadar menjualnya demi tepuk tangan? Jangan kau bawa nama ini ke medan perseteruan jika niatmu bukan mendamaikan. Jangan kau panjatkan panji ini di menara ego, bila hatimu tidak tunduk pada nilai-nilai leluhur.

Bagi kami, Melayu bukan alat tempur. Ia adalah cermin diri. Bila kau bercermin pada nilai Melayu, kau harus siap memantulkan kejujuran, kesantunan, dan kasih. Bukan kepentingan, bukan tipuan.

Dan biar aku tegaskan sekali lagi: jangan sembarang membawa nama Melayu jika yang kau kejar hanya sorot lampu dan suara sorak. Karena bagi kami yang menjunjungnya dengan segenap jiwa, nama itu bukan sekadar sebutan—ia adalah sumpah, ia adalah pusaka yang dijaga dalam diam, dalam darah, dalam doa.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *