banner 728x250

Tanjak di Kepala, Adat di Hati: Kala Seorang Kapolres Menjadi Anak Kandung Adat

banner 120x600
banner 468x60

JEBAT.ID – Langit pagi di Lingga tak sekadar biru—ia menyimpan takzim, menyambut siapa saja yang datang dengan niat baik dan hati terbuka. Lautnya tenang seperti hikayat tua yang belum rampung dibacakan, anginnya membawa bisik doa-doa dari kampung ke kampung. Di tengah tanah yang diberkahi sejarah dan ditimang oleh adat, seorang putra dari tanah Batak kini melangkah dengan khidmat. Dialah AKBP Pahala Martua Nababan, Kapolres Lingga yang kini menjadi bagian dari kisah negeri Bunda Tanah Melayu.

Ia bukan anak jati daerah. Darahnya bukan Melayu, tanah kelahirannya jauh dari pantai-pantai selatan Kepri. Namun tak semua yang datang dari luar adalah orang asing. Sebab dalam setiap gerak dan sikapnya, tampak ia bukan sekadar menjejak tanah, tetapi menghayati denyutnya, menjunjung budinya, dan menundukkan hatinya di bawah langit Melayu.

Tak lama setelah tongkat komando kepolisian diserahterimakan kepadanya, Pahala mengambil satu keputusan yang kelak menjadi penanda jati dirinya sebagai pemimpin yang mengerti adab. Ia menginstruksikan kepada setiap Bhabinkamtibmas—mata dan telinga kepolisian di desa-desa—untuk mengenakan tanjak dalam setiap tugasnya.

Tanjak itu bukan perintah kosong. Ia adalah wujud penghormatan. Sebab dalam lipatan-lipatan kain yang dikenakan di kepala itu, terpatri makna tentang harga diri, tentang martabat, dan tentang kesediaan untuk tunduk pada nilai yang ditinggikan masyarakatnya.

“Adat bukan sekadar pelengkap. Ia adalah wajah dari tempat kita berpijak. Jika kita ingin dihormati, maka terlebih dahulu kita harus tahu cara menghormati,” ucap Pahala dalam nada yang lembut, malam itu di halaman rumah dinasnya.

Tak hanya dalam simbol, komitmen itu juga tercermin dalam lakunya. Ia hadir dalam acara-acara adat, mengikuti prosesi tepung tawar dengan sikap penuh hormat, menyantap sirih dalam prosesi penyambutan tanpa ragu, mengenakan busana Melayu dalam upacara resmi tanpa diminta. Ia tak menciptakan jarak antara dirinya dan masyarakat; justru ia hadir sebagai bagian dari narasi kebudayaan yang terus ingin ia rawat dan hidupkan.

Baca juga :   Wakil Bupati Lingga, Novrizal Resmi Buka Turnamen Pekaka Cup IV di Lingga Timur

Dalam setiap rapat dan pertemuan, Pahala lebih sering berbicara tentang pentingnya kearifan lokal daripada hanya memusatkan perhatian pada angka-angka kriminalitas. Baginya, menjaga ketertiban tidak cukup hanya dengan hukum—ia harus dibalut dengan pemahaman akan nilai, adat, dan jiwa masyarakat yang dijaga.

Ia sering menyitir pepatah: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Namun bagi Pahala, pepatah itu bukan sekadar hiasan kata. Ia menjadikannya pelita. Karena dalam pandangannya, menjadi pemimpin bukan hanya tentang menyusun perintah, melainkan juga menyelami jiwa tempat di mana ia diberi amanah.

Ia tak hendak menjadikan dirinya sebagai Melayu. Ia tahu diri, ia tahu asal. Namun ia menjadikan penghormatan terhadap budaya Melayu sebagai bagian dari etos kerjanya. Itulah yang membuat masyarakat menyambutnya bukan sebagai atasan yang berjarak, tetapi sebagai saudara baru yang membawa niat baik.

Sikap ini, sesungguhnya, adalah cermin pekerti luhur yang semakin langka. Dalam diam dan tindak, Pahala mengajarkan bahwa adat tidak lekang oleh jabatan, bahwa budaya tidak bisa dikalahkan oleh pangkat. Dan justru dari seorang yang bukan lahir dari rahim budaya Melayu, kita diajak untuk kembali mencintai, merawat, dan menegakkan warisan luhur yang kita miliki.

Apa yang ditunjukkan oleh Kapolres Lingga ini seyogianya menjadi teladan bagi generasi Melayu hari ini—bahwa tak cukup hanya menjadi pewaris nama dan tanah, tetapi juga penjaga nilai dan kehormatan. Karena adat yang besar bukan hanya dituturkan, tapi dijalani dengan budi dan dijunjung dengan rendah hati.

Kini, di tanah yang masih menyimpan hikayat kerajaan lama, di balik desa-desa nelayan yang damai, dan di bawah payung budaya yang belum pudar, nama Pahala Martua Nababan mulai dikenal bukan hanya sebagai Kapolres, tetapi sebagai pribadi yang tahu menghargai, tahu merunduk, tahu menjunjung.

Baca juga :   Masyarakat Singkep Impikan Duet Muhammad Nizar - Novrizal Di Pilkada 2024

 

Ia datang bukan untuk mengubah budaya, tetapi untuk berjalan bersamanya. Ia datang bukan untuk dikenang karena jabatannya, tetapi karena pekertinya. Dan jika kelak sejarah mencatat masa jabatannya, maka semoga catatan itu tak hanya berbicara tentang keamanan yang terjaga, tetapi juga tentang langit Melayu yang makin tinggi dijunjung berkat kehadiran seorang penjaga negeri yang tahu caranya menghormati bumi tempat ia berpijak.

 

Daun sirih bersusun rapi,

Dalam puan bertatah perak.

Meski berasal dari seberang negeri,

Bahasanya halus, langkahnya bijak.

 

(Adhe Bakong)

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *