banner 728x250

LAM Lingga Hanya Ada Saat Gendang Ditabuh

banner 120x600
banner 468x60

LAM Lingga Hanya Ada Saat Gendang Ditabuh

Oleh: Si Fakir Penulis Syair
(Adhe Bakong)

Dalam naungan langit yang pernah disinggahi raja-raja, di tanah yang harum oleh pantun dan gurindam, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Lingga dahulu ibarat sauh dalam gelombang, nakhoda dalam ribut, dan pelita yang menyala kala malam menyergap. Ia bukan hanya tempat berteduh secara adat, tetapi tempat bersandar kala jiwa tak menemukan jalan pulang.

Namun hari ini, kita saksikan pergeseran yang pelan tapi pasti meretakkan akar. LAM, yang dahulu disegani bukan karena megahnya baju adat, tetapi karena bijaknya suara, kini lebih tampak dalam keramaian upacara, tapi sunyi dalam hiruk persoalan rakyat. Ia masih menabalkan gelar, masih menabur tepung tawar, masih mengatur adat istiadat, namun kehilangan daya untuk menyentuh luka masyarakat yang sedang bernanah.

Adat bukan sekadar seremoni. Adat adalah nadi—denyut yang hidup dalam masyarakat. Dan bila lembaganya terlalu sibuk pada simbol, tetapi lalai menyelami isi, maka adat hanya akan menjadi kulit tanpa daging, suara tanpa gema.

Di tanah Lingga, baru-baru ini, kisruh lahan menyentuh sendi terdalam masyarakat. Tanah yang seharusnya menjadi tapak waris dan ladang rezeki, berubah jadi medan pertikaian. Bara sentimen perlahan menyulut. Perbedaan yang seharusnya jadi sulaman kekayaan, justru menganga sebagai jurang curiga. Dalam keadaan begini, masyarakat menoleh—bukan kepada aparat, bukan kepada politik—tetapi kepada LAM. Sebab hanya adat yang punya lidah halus dan telinga panjang. Tapi suara itu tak turun. Langkah itu tak datang.

Di mana suara tua yang dahulu bisa meredakan dua kampung yang berselisih hanya dengan satu nasihat? Di mana wajah lembaga yang dahulu jadi pereda segala rawan?

Baca juga :   Proyek Pembangunan Tertunda, Efisiensi Anggaran Kubur Mimpi Anak Lingga

Apakah LAM kini terlalu tinggi duduknya, hingga tak mendengar derit rakyat di bawah? Terlalu sibuk mengatur balai dan busana, hingga lupa bahwa adat bukan hanya pelaminan dan panggung, tetapi juga sawah yang disengketa, tanah yang disoal, dan kampung yang mulai renggang?

Adat adalah akar yang mengikat pohon masyarakat agar tak tumbang diterpa ribut zaman. Dan akar itu tak tumbuh dari lambang. Ia tumbuh dari kepedulian yang nyata.

Kini, zaman melaju, dan generasi muda berjalan cepat—tangan mereka panjang, menjangkau layar dan dunia dalam satu sentuhan. Mereka berlari dengan ide, dengan gejolak, dengan panas bahang yang mendidih dalam darah muda. Tapi mereka juga mudah terbakar, jika tak ada sejuk yang menenangkan.

Di sinilah seharusnya lembaga adat tak hanya berdiri sebagai simbol, tapi sebagai payung. Sebagai tangan-tangan tua yang meski pendek langkahnya, tahu ke mana harus menuju. Sebab tangan orang tua, walau tak sejauh milik anak muda, tahu bagaimana menjangkau yang lebih dalam, yang lebih bijak. Karena mereka telah mencicip banyak asam garam kehidupan.

Yang muda membawa bara semangat, yang tua membawa air penyejuk. Jika keduanya tak bersatu, maka api bisa membakar rumah sendiri.

Yang muda banyak bahangnya, yang tua banyak garamnya.
Yang muda berlari kencang, yang tua tahu arah dan belokan.
Yang muda menjangkau yang luas, yang tua menjangkau yang dalam.

LAM seharusnya menjadi jembatan antara dua zaman ini. Menjadi timba yang menimba nilai dari sumur tua, lalu dituangkan ke gelas zaman baru. Tetapi bila jembatan itu tak pernah dilalui, bila timba tak pernah diturunkan, maka yang tersisa hanya kebisingan yang tak dipedulikan.

Baca juga :   Jangan Politisasi IMKL !!!

LAM harus kembali pada peran hakikinya: menjadi penjaga marwah bukan hanya dalam pakaian, tapi dalam perbuatan. Ia harus menjadi lidah yang jujur, telinga yang sabar, dan tangan yang ringan menjangkau. Ia harus berada di tengah masyarakat, bukan hanya di foto-foto panggung.

Sebab adat yang tak turun ke bumi, hanya akan tinggal di langit. Dan lama-lama, hilang dibawa angin.

Asah kapak tajam beliung

Hendak menebang kayu berduri

Tuan umpama kemuncak payung

Patik dibawah berteduh diri. 

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *