Manusia dan Binatang: Pertukaran Jiwa di Persimpangan Takdir
Oleh: Adhe Bakong
– Di tengah derasnya arus zaman dan riuhnya dunia yang kian kehilangan arah, manusia berdiri di ambang persimpangan takdir: antara akal dan naluri, antara luhur dan liar, antara mulia dan binatangiah. Ironisnya, makhluk yang pernah diagungkan sebagai khalifah di muka bumi kini kerap menjelma buas—merusak tanah tempat ia berpijak dan menganiaya sesama yang seharusnya ia pelihara. Sementara itu, binatang—yang tak memiliki kitab atau lidah bersilat kata—menjalani hidup dalam garis fitrah: jujur, lurus, dan sederhana.
Inilah saat di mana jiwa tampaknya saling bertukar: manusia yang makin kehilangan kemanusiaannya, dan binatang yang, dalam diam, menunjukkan sifat-sifat mulia yang mestinya dimiliki manusia.
Lebah: Sufi Kecil di Tengah Rimba
Lihatlah lebah, makhluk mungil yang disebut dalam kitab langit. Ia tak bersuara lantang, tak menggugat takdir, tapi justru dari perutnya mengalir obat bagi luka dunia. Dalam sunyi ia bekerja, dalam diam ia berkarya. Ayat-ayat Tuhan menyebutnya bukan tanpa maksud:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang… dan dari perutnya keluar minuman yang menjadi penawar bagi manusia.’”
(Surah An-Nahl: 68–69)
Lebah hidup dalam lingkaran keteraturan yang suci. Ia tak merusak pohon tempat ia hinggap, tak mencuri dari bunga yang ia jamah. Ia mengambil dengan takzim, memberi dengan rahmat. Sungguh, lebah adalah guru yang tak berkata, tapi mengajar dengan tindakan. Ia seolah menulis hikmah di udara—bahwa hidup harus tertib, bermanfaat, dan diam-diam penuh arti.
Geometri Iman dalam Sarang Lebah
Sarangnya bukan sembarang bentuk—heksagon, enam sisi simetri yang tak menyisakan ruang sia-sia. Tak ada retorika di sana, tak ada perebutan peran, hanya kerja kolektif yang saling menguatkan. Ia seperti bait puisi yang tak terucap, tapi dirasakan maknanya dalam setiap tetes madu yang ia lahirkan.
Manusia kerap lupa bahwa tugas bukan ladang pujian, dan kemuliaan bukan hak yang harus dirampas, melainkan berkah yang harus dipikul dengan rendah hati.
Madu: Doa yang Mengkristal di Perut Sunyi
Madu bukan sekadar manis—ia adalah hasil dari ketekunan, pengorbanan, dan kerja senyap. Ia adalah doa yang mengkristal di perut si kecil yang tak pernah mengeluh. Tak butuh panggung, tak memerlukan sorak. Tapi setiap tetesnya menyembuhkan, setiap rasanya membawa damai.
Sementara manusia, seringkali ingin hasil tanpa proses, ingin tampak tanpa isi, ingin dipuja tanpa pernah memberi. Ia lupa bahwa amal yang paling murni lahir dari hati yang tak mencari sorotan, tapi cahaya. Dari tangan yang tak menggenggam untuk menahan, tapi untuk memberi.
Binatang: Cermin yang Tak Berdebu
Binatang tak pernah khianat pada fitrah. Harimau tidak menyimpan licik dalam lorengnya. Burung tak berdusta di kicauannya. Ular tak mencuri, meski ia tahu jalan sunyi. Mereka hidup sebagaimana mereka dicipta: setia, jujur, apa adanya.
Lalu lihatlah manusia—makhluk yang diberi kitab, akal, dan petunjuk, tapi memilih jalan yang berliku dan palsu. Ia membunuh bukan untuk lapar, tapi untuk kuasa. Ia menguasai bukan untuk hidup, tapi demi rakus yang tak bermuara. Maka dunia hari ini tak lain adalah panggung kesedihan: hutan terbakar oleh ambisi, laut tercemar oleh tamak, dan sesama saling menindas dalam bisu yang disahkan hukum.
Menjemput Kembali Jiwa yang Hilang
Belajarlah dari lebah yang tak bersuara tapi penuh makna. Lihatlah binatang yang tak berkhotbah tapi tak pernah menyimpang. Kembali menjadi manusia bukan soal mengutip ayat, tapi menjelmakan ayat itu dalam laku sehari-hari. Dalam cara makan, dalam cara memandang, dan dalam cara memberi.